Skip to main content

Panduan agar Tidak Salah Paham Soal Dinar dan Dirham



Panduan agar Tidak Salah Paham Soal Dinar dan Dirham
 
Banyak kesalahpahaman tentang dinar emas dan dirham perak. Sedangkan penggunaannya sudah semakin lazim. Seorang pejabat Bank Indonesia (BI) suatu kali mengatakan: “dilarang bertransaksi dengan Dinar dan Dirham.”
Spaghetti-con-gamberetti-e-rucola.
Ia mengacu UU no 7 tahun 2011 tentang Mata Uang yang memidana penggunaan selain rupiah di dalam wilayah RI, dengan hukuman penjara 1 tahun atau denda Rp 200 juta. Meskipun ada juga pengecualiannya yaitu transaksi nonrupiah diizinkan bila diperjanjikan terlebih dahulu atau untuk perdagangan internasional.

Adanya pengecualian itu saja sebenarnya sudah membuat undang-undang ini tidak efektif. Sebab, bukankah dengan mudah setiap orang dapat menyatakan bahwa transaksi yang dilakukan dengan dolar AS atau yen atau mata uang nonrupiah lainnya telah diperjanjikan terlebih dahulu? Adapun terhadap  Dinar dan Dirham undang-undang di atas sama sekali tidak relevan. Pernyataan pejabat BI itu muncul karena kesalahpahaman, atau tepatnya pemahaman yang salah, tentang Dinar dan Dirham.


Mata Uang Tidak Sah

Undang-undang Mata Uang adalah Legal Tender Law yaitu mengatur penggunaan mata uang yang sah, mata uang fiat (kertas atau koin) yang dipaksakan dan diakui oleh suatu negara, berdasarkan hukum negara bersangkutan. Dinar emas dan Dirham perak bukanlah mata uang yang sah dari sesuatu negara. Keduanya tidak mengandung nilai nominal sebagaimana mata uang fiat. Dinar emas dan Dirham perak adalah satuan berat,  masing-masing 4.25 gr emas (22 karat)  dan 2.975 gr perak (murni). Standar berat ini telah ditetapkan oleh Khalifah Umar ibn Khattab, dan menjadi ketetapan ijma’ ulama.

Jadi, menyamakan Dinar emas dan Dirham perak, dengan uang fiat adalah absurd. Posisi koin emas dan koin perak dapat disamakan dengan sekilo kentang atau  sekuintal beras. Keduanya adalah komoditas bernilai intrisik dan bukan nilai fantasi yang dilekatkan kepadanya sebagaimana nilai nominal pada uang kertas. Dalam syariat Islam posisi Dinar dan Dirham pun tidak ekslusif berlaku sebagai alat tukar. Sebab, rukun pertama bertransaksi dalam syariat Islam adalah keridhoan kedua belah pihak. Tidak boleh ada pemaksaan dalam bertransaksi, termasuk pemilihan alat tukar. Jadi, dalam berjual beli, tidak harus menggunakan Dinar atau Dirham, tetapi bisa dengan beras, jagung, kurma, garam, dan benda-benda lain yang dapat dan lazim dipakai sebagai alat tukar.  Yang sama sekali dilarang dalam bertransaksi ini justru  penggunaan  nota hutang, yang kini kita sebut uang kertas itu.

Kehadiran Dinar emas dan Dirham perak yang tidak bisa digantikan di dalam syariat Islam adalah sebagai alat pembayaran zakat (uang dan perniagaan). Zakat mal harus dibayarkan dengan ‘ayn, yaitu komditas bernilai, dan tidak boleh dengan dayn, atau nota hutang. Selama satu abad terakhir ini pembayaran zakat menggunakan uang kertas didasarkan kepada dalil darurah, karena kedua koin tersebut tidak ada di tengah umat Islam. Jadi, kembalinya Dinar dan Dirham hari ini, adalah agar umat Islam dapat kembali menjalankan rukun zakat sesuai syariat.

Tidak kalah pentingnya adalah bahwa semua ketentuan dalam syariat Islam yang berkait dengan nilai dan harga, seperti dalam hudud, diyat, nisab, sedekah dan mahar, semuanya hanya mengacu kepada Dinar dan Dirham. Maka, tanpa keduanya, selain zakat, syariat muamalah tidak akan bisa dijalankan. Jadi, tanpa Dinar dan Dirham, tidak ada zakat dan muamalat, berarti tidak ada syariat.

Bertentangan dengan UU Bank

Kembali kepada posisi Dinar emas dan Dirham perak dalam transaksi jula beli, adalah sebagai bentuk kebebasan pilihan semata. Bukan satu-satunya pilihan sebagai alat tukar, apalagi pemilihan itu dipaksakan oleh suatu pihak tertentu, melalui legalisasi atau kriminalisasi. Dinar dan Dirham tidak pernah menjadi dan tidak pernah dimaksudkan sebagai mata uang yang sah, dan karena itu juga bukan hendak dijadikan sebagai alternatif  atas uang kertas. Kehadirannya adalah untuk melaksanakan perintah Allah SWT dan Rasulullah SAW.

Sebaliknya, uang kertas yang merupakan kertas tak bernilai dan penerbitannya dimonopoli oleh satu pihak, dan pemakaiannya untuk umum dipaksakan,  adalah alat tukar  yang batil dan bertentangan dengan syariat Islam.  Kebebasan bertransaksi dijamin langsung oleh Allah SWT dan  dijaga melalui sunnah Rasul SAW, dan diatur melalui syariat Islam. Memaksakan setiap orang (Indonesia) untuk bertransaksi hanya dengan uang kertas rupiah, dan melarang bahkan menghukum transaksi yang dilakukan dengan alat tukar lain atas dasar suka sama suka, berarti memberangus kebebasan bertransaksi.

Tanpa undang-undang mata uang, rakyat Indonesia telah menjalani kehidupan ekonomi dengan normal, selama ratusan tahun, bahkan sejak kita mengenal uang kertas rupiah 66 tahun lalu. Tanpa undang-udang mata uang perbankan kita juga telah berjalan, diatur mula-mula oleh Undang-undang (UU) No 7 tahun 1992 tentang Perbankan dan UU no 23 tahun 1999 tentang BI. UU No 7/1992 tersebut membolehkan bank untuk “melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil” (syariat Islam).  Dalam  UU yang baru, yakni UU No 10/1998,  secara eksplisit ditetapkan bahwa bank boleh beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip syariah.  Bahkan, kemudian, UU No 23/1999 tentang BI juga menetapkan bahwa BI sebagai bank sentral dapat “melakukan pengendalian moneter berdasarkan prinsip-prinsip syariah”.

Pemakaian kembali Dinar dan Dirham  bukan cuma berdasarkan kepada  prinsip syariah, tetapi merupakan pengamalan dari syariah itu sendiri. Maka, UU Mata Uang itu bertentangan dengan UU No 10/1998 tentang Perbankan dan UU No 23 tahun 1999 tentang BI itu sendiri bukan? Lagi pula, secara asasi, kebebasan menjalankan ibadah sesuai syariat Islam, menguasai hak milik, berpartisipasi memajukan masyarakat dan bangsa,  menggunakan identitas budaya dan tradisi, semuanya dijamin oleh konstitusi RI, yaitu UUD 1945 (yang telah di amandemen kan).

Dinar Dirham Dijamin Konstitusi                                                   

Pasal 28C Ayat (2) UUD menyatakan:  “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya“. Pasal 28H  Ayat (4): “Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan  hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang  oleh siapa pun.” Pasal 28I Ayat (3): “Identitas budaya dan  hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan pradaban.” Sedangkan Pasal 29 Ayat (2): “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”

Koin Dinar dan Dirham adalah  milik pribadi, berbeda dari uang kertas yang merupakan nota utang BI dan tidak pernah menjadi milik pemegangnya. Dinar dan Dirham merupakan bagian dari tradisi dan budaya bangsa Nusantara, karena selama ratusan tahun digunakan di berbagai kesultanan di Nusantara, mulai dari Aceh sampai Gowa. Dan, yang paling pokok, Dinar dan Dirham   merupakan bagian dari ibadah (pembayaran zakat, mahar, mumalat).

Jadi, pemakaian Dinar dan Dirham merupakan hak asasi, hak konstitusional dan hak legal rakyat.  Undang-undang mata uang yang ditafsirkan untuk  melarang pemilikan dan  penggunaan Dinar dan Dirham, bertentangan dengan UUD, bertentangan dengan undang-undang perbankan dan undang-udang tentang BI, serta  bertentangan dengan Al Quran dan Sunnah Rasul SAW.
The-retina-where-vision-begins.
Menghambat pemakaian kembali Dinar dan Dinar juga hanya akan merugikan masyarakat dan bangsa secara keseluruhan. Keduanya adalah aset riil. Semakin banyak Dinar dan Dirham yang berada di tangan masyarakat semakin kokoh ekonomi rakyat dan bangsa ini.  Sebagaimana terbukti dalam masa satu dasawarsa ini Dinar emas dan Dirham perak bebas inflasi, menstabilkan ekonomi keluarga, menurunkan harga-harga, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Cool. Mantap!!








Comments

Popular posts from this blog

Apa itu Dinar dan Dirham?

Apa itu Dinar dan Dirham? Koin dinar emas adalah koin emas 22 karat (91,7%) dengan berat 4,25 gram yang dapat berfungsi sebagai alat investasi dan proteksi nilai kekayaan. Mengapa 4,25 gram? Hamburger-meat-pie. Rasulullah Sholallahu Alaihi Wa Salam bersabda “Timbangan mengikuti yang digunakan penduduk Mekah, Takaran mengikuti yang digunakan penduduk Madinah”. Dari hadits Rasulullah Sholallahu Alaihi Wa Salam tersebut, Dr. Qaradawi menyimpulkan bahwa berat 1 Dinar atau 1 Mithqal adalah sama dengan 4.25 gram timbangan saat ini ; sedangkan berat 1 Dirham adalah 2.975 gram. Mengapa 22 karat? Berikut adalah fakta-fakta sejarah: Semasa Rasulullah Sholallahu Alaihi Wa Salam masih hidup; beliau belum (memerintahkan ) mencetak Dinar Islam sendiri. Berarti Rasulullah Sholallahu Alaihi Wa Salam menggunakan Dinar yang diproduksi oleh dunia di luar Islam.  Apa yang ada sebelum Islam atau di luar Islam kemudian juga digunakan oleh beliau, maka  ini menjadi ketetapan atau taqrir beliau –

Dinar Dirham Mentioned In Quran and Hadith

Dinar Dirham Mentioned In Quran and Hadith Let's look and feel some evidences which the Koran is also a hadith that mentions the Prophet dinar and dirham. Seafood-pasta. For evidences from the Qur'an, I include here a sign on the dinar and dirham another. Verse mentions the dinar is: "Among the People of the Scripture there is he who, if thou trust him with a weight of treasure, will return it (properly) to you, and some of them who, if thou trust store sedinar already, it will not return it to thee unless you always claim. That is because they say: "We have no duty to bear the sins of those who neither read nor write," and they always say a lie against Allah while they know (that they are lying). "(Surah Ak-Imran: Verse 75) While verse mentions the Dirham is: "And (Brethren) sold him for a low price, the number of silver coins and merekaadalah people who do not appreciate it."(Surah Yusuf: Verse 20) While evidences from hadith abou

Introduction of Dinar and Dirham

Introduction of Dinar and Dirham The return to a form of trading and business transactions which have blessing and spiritual benefit, along material gain, is the most pressing issue of our time. Meat-loaf-hamburgers. The reason is that all forms of oppression, destruction of the natural resources of our planet and injustice between poor and rich, all are ultimately based upon the rule of usury and the dominant financial and economic ethos. The return to a healthy and equitable way of conducting business has many stages and implies the restoration of many lost institutions and procedures which prevailed until the hegemony of the present usurious institutions. The most significant step in this progress will be the recovering of a currency system of real money and the progressive abolition of symbolic money printed in paper and fictitious currency manipulated in speculative markets and gambling exchange markets. The gold dinar and Silver dirham have been universally accepted m